Foto: Panoramio.com
Sebuah stasiun kereta di salah
satu sudut kota Jogja. Lenggang lewat tengah malam. Hanya ada seorang
satpam yang lelah tertidur di kursi jaganya. Para tukang ojek dan
becak yang cerewet di pagi hari berkumpul di angkringan depan
stasiun. Merokok dan membicarakan penumpang-penumpang ajaib mereka
hari itu. Sekumpulan laron ikut bercengkrama seperti mereka namun
berbeda tempat. Laron-laron itu lebih suka mengobrol sambil terbang
tepat di depan lampu dari pada merokok di angkringan. Stasiun itu
benar-benar terasa sepi, tak ada kereta yang datang saat itu. Kereta
baru akan datang sekitar satu jam lagi. Tepat pukul 01.00 pagi.
Kereta terakhir yang datang dari Jakarta.
Hanya ada sedikit penumpang saat
itu. Jumlahnya bisa dihitung hanya dengan satu telapak tangan.
Seorang pria yang tertidur dengan selonjoran di kursi tunggu
berkerangka besi. Dia nampak sangat lelap dengan carrier
bag nya sebagai bantal. Dengkurannya cukup mengganggu para laron.
Seorang pria lain, berusia sekitar awal 30an, sedang duduk di kursi
tunggu depan pria yang sedang tidur tadi. Dengan kaki kanan
disilangkan di atas paha kirinya, tangan kanannya ditumpangkan pada
sandaran kursi. Sesekali dia mengecek jam tangan kirinya dengan wajah
santai dan terkesan masih segar. Di samping kiri pria itu, tepat di
paling ujung dari kursi tunggu yang panjang, seorang wanita duduk
tertunduk sambil memeluk ranselnya yang terlihat begitu padat.
Sesekali suara isakan terdengar dari arahnya, membuat pria di
sampingnya itu menoleh. Namun pria itu tetap tak peduli dan selalu
kembali mengecek jam tangannya setelah menoleh.
Suara tawa dan obrolan terdengar
samar dari depan stasiun, dari arah sekumpulan tukang ojek dan becak.
Lalu suara dengkuran saling bersautan antara si pria yang tertidur di
kursi tunggu dan satpam di kursi jaganya yang tepat berada di depan
pintu masuk peron. Tak mau kalah suara isakan yang samar terdengar
lagi dari arah wanita muda, sekitar 20an awal, lalu diikuti suara
helaan nafas. Wanita muda itu mengusap hidungnya yang basah dengan
punggung telapak kanannya. Dia tidak sadar dari tadi pria di
sampingnya selalu memerhatikannya saat terisak. Masih dengan sedikit
isakan, wanita itu membuka ranselnya, mengambil selembar tiket kereta
api. Lalu dengan menggumam dia merobek kertas itu sekecil-kecilnya
dengan perlahan. Pria di sampingnya, masih santai memandang apa yang
wanita itu kerjakan.
“Jangan disobekin. Bikin
kotor.” Ujar pria itu santai masih dengan gaya duduknya. Tak ada
jawaban dari wanita itu. “Hey.... jangan disobekin di sini.”
Sejenak wanita itu berhenti
merobeki tiketnya. Namun, suara isakannya makin terdengar jelas,
makin kencang, sesenggukan. Membuat pria di sampingnya tadi jadi
merasa penasaran.
“Kamu kenapa?” Tanyanya ramah
dengan sedikit ekspresi cemas, tapi tetap tak merubah posisi
duduknya. Wanita itu tak menjawab. “Sakit...?” Tetap tak ada
jawaban.
Pria itu sedikit menggeser
duduknya, lebih dekat pada wanita muda itu, tapi masih dengan gaya
duduk yang sama.
“Bukan urusan lo..” Akhirnya,
wanita itu mengucapkan sesuatu dengan sedikit terbata karena
isakannya.
“Jelas urusan ku juga dong.”
bantah pria itu tak mau kalah.
“Gue bilang bukan urusan lo!”
Kali ini nada bicara wanita itu sedikit membentak. Membuat pria di
belakang mereka sejenak berhenti mendengkur, merubah posisi tidurnya,
lalu mendengkur lagi.
“Mbak.....”, Ujar pria itu
santai. “Ini tempat tinggal ku, kota ku, mbak sobekin kertas itu,
bikin kotor tempat ini, pasti karena sesuatu. Karena nangis mungkin.
Atau kesel. Jengkel. Aku gak tau, mbak. Tapi aku mau bantu, dan
menjadi urusan ku juga, soalnya aku yakin karena nangis mbak itu,
tempat ku jadi kotor.” Wanita itu menoleh pada pria di sampingnya,
menatapnya dengan penuh kesedihan. Matanya basah, merah, kuyu.
Begitupun dengan hidung dan pipi cantiknya.
“Emangnya lo siapa?” Pria itu
hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Tak ada sedikit pun wajah
kaget atau iba melihat kondisi wanita itu.
“Aku warga sini. Warga Jogja.”
Jawab pria itu ramah, yang justru membuat wanita tadi kesal dan makin
terisak kencang sambil kembali merobeki tiket keretanya yang tinggal
setengah. “Lagi nunggu saudara yang mau dateng atau nunggu
keberangkatan pagi nanti?” Tanya pria itu mencoba membuka obrolan.
“Nggak...” Jawabnya ragu,
dengan sendu dan penuh isakan. Tiket kereta yang tadi dirobekinya
sudah habis. Dia membuka tas ranselnya lagi dan mengeluarkan selembar
tiket lain, lalu mulai merobek seperti sebelumnya. Pria di sampingnya
terus memerhatikan dia dengan tenang dan cukup lama, hingga tak
terasa sudah tiket keempat yang
ia robeki dan sudah reda isakannya.
“Mbak tiketnya banyak. Pergi
sama siapa aja?” Tanya pria itu lagi, mencoba memulai pembicaraan
setelah sedikit tenang.
“Nggak ada...”, Jawab wanita
itu pelan. “Gue pergi sendiri. Jogja. Jakarta. Jogja. Jakarta.”,
Ada sedikit jeda di antara mereka. Kembali suara dengkuran langsung
mengisi sepi saat jeda itu. “Udah 3 hari. he...he..he...”
“Kayaknya berat banget ya
masalahnya. Hahaha.”
“Emang.” Jeda terjadi lagi
sekitar semenit. Lalu wanita itu mengangkat wajahnya, menoleh ke pria
di samping kanannya. “Lo sendiri mau kemana?”
“Aku...nggak kemana-mana. Aku
emang suka duduk sendiri, merenung di sini kalau malam. Hahaha”
Jawab pria itu dengan santai dan penuh tawa kencang.
“Udah gue tebak. Soalnya lo gak
bawa barang apa-apa.”
“Jadi sebenernya mbak sendiri
kenapa di sini?”
“Gue.....mau pergi”, Dia
menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya lagi dengan perlahan.
“...ke surga.”
Pria tadi cuma menatapnya diam,
tapi masih dengan senyum ramahnya. “Lo nggak kaget?” tanya wanita
itu heran saat melihat respon pria di sampingnya.
“Hahaha. Nggak lah, ngapain
kaget!” Jawabnya penuh tawa.
“Gue ini mau bunuh diri, lho.
Kenapa lo gak kaget? Lo gak ada niat buat hentiin gue?” Tanya
wanita itu penuh dengan rasa penasaran, terpancar dari ekspresi
wajahnya.
“Kamu berharap ada orang yang
mau nyelametin? Yang nahan kamu biar gak jadi bunuh diri?”
Wanita itu menyandarkan kepalanya
di sandaran kursi. Menarik nafas dalam-dalam lagi, lalu
menghembuskannya pelan. “Gue takut....”
“Takut apa?”
“Takut surga. Takut neraka.
Takut kalau nanti Nyokap marah waktu ketemu gue di sana...” Pria
itu tak menoleh. Namun matanya melirik wanita itu yang masih
menyandarkan kepalanya di sandaran kursi tunggu. Dia melihat air mata
mengalir lagi dari mata wanita cantik itu. Namun segores senyum ada
di bibirnya. “...Mati itu sakit nggak sih?”
“Nggak tau.”
“Gue emang berharap ada orang
yang berusaha bujuk. Yang bisa ngerubah pikiran gue buat mati.”
Isakan mulai terdengar lagi tapi kali ini dengan senyuman, membuat
wanita itu terlihat sedikit lebih
cantik dari
sebelumnya. Begitu pikir
pria di sampingnya. “Gue takut mati.”
“Jangan mati kalau gitu.”
“Terlalu banyak masalah di
hidup gue.... Gue kangen Nyokap
gue.”
Mereka berdua terdiam. Suara tawa
di angkringan tak terdengar lagi. Begitu pula dengan dengkuran pria
di belakang mereka.
“Masalah akan selalu ada di
dalam hidup. Semua orang mengalami itu. Itu bukan alasan buat mati”,
Ujar pria di sampingnya sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari
kantong celananya.
“Kalaupun aku nahan mbak buat
nggak bunuh diri, apa mbak yakin nggak akan ada niatan gitu lagi di
hari esok?” Kali ini dia berkata sambil memainkan sebatang rokok di
tangan kanannya dan memegang korek di tangan kirinya.
Isakannya reda lagi. Tapi air
matanya masih mengalir.
“Selama ini gue cuma denger
cerita soal bidadari di surga.” Katanya sambil memandang kawanan
laron yang masih berkumpul pada lampu di atas ia duduk. “Buat
cewek, ada gak ya bidadara? Cowok cowok ganteng....cuma pake selembar
kain. Badannya sixpack. hehe.”
Si Pria hanya memandang wanita
itu. Sangat dalam tepat pada kedua bola matanya.
“Menurut lo bidadara itu ada
gak?.... Nyokap gue dilayani sama mereka gak ya?”
“Nggak tau.”
Wanita itu membenarkan posisi
duduknya menjadi lebih tegak. Lalu meletakan ransel yang dari tadi ia
peluk di samping kursi tunggunya. Matanya menatap wajah pria di
sampingnya. Membuat pria itu menjadi sedikit canggung dan memalingkan
pandangannya dari si wanita.
“Aku ngerokok ya. Gak apa kan?”
Tanya si pria tapi tanpa menunggu jawaban. Dia langsung menyelipkan
sebatang rokok yang tadi dia mainkan, lalu membakarnya dengan korek
gas berwarna merah yang dari tadi ia genggam. Asap pahit tembakau
menghembus lembut dari mulutnya. Seakan ikut membuang segala beban
hidup si pria itu. Ia lakukan hal itu beberapa kali untuk mengisi
jeda obrolan mereka yang sulit dipahami. “Diem aja berarti 'iya'”
Katanya lagi.
“Bukannya di sini dilarang
merokok?” Tanya si wanita sambil menunjuk sebuah spanduk larangan
merokok di tembok ruang tunggu stasiun.
“Kenapa mbak peduli, kalau mbak
sendiri nyampah.” Jawabnya sambil memandang sobekan sobekan kecil
kertas di sekitar wanita itu.
“Mbak ngerokok juga?”
Tanyanya pada wanita itu yang dijawab dengan gelengan. Namun pria itu
justru menyodorkan sebatang rokok yang dari tadi ia hisap padanya.
“Dihisap secara perlahan.
Mungkin nanti di surga nggak akan ada rokok.”
Wanita itu coba menghisap rokok
yang sudah habis setengah. Hisapan pertama, dia terbatuk-batuk. Pria
itu cuma tertawa melihatnya. Tak ada niatan untuk mengajarinya lebih
detail. Hisapan kedua masih sedikit terbatuk. Hisapan ketiga, ia
mulai terbiasa. Namun, tak ada hisapan keempat. Wanita itu hanya diam
memandang bara rokok yang ia pegang. Membiarkan angin menjatuhkan
abunya jatuh di atas paha sekalnya. Lalu, dengan disaksikan pria itu,
ia menempelkan ujung rokok yang membara itu pada punggung jempol
kirinya. Lama hingga membuat bau gosong tercium oleh si pria. Ia
hanya meringis, namun menikmatinya.
“Nggak terlalu sakit. Tapi
perih.” ucapnya melihat bekas sundutan rokok yang memperlihatkan
daging putih di punggung jempolnya itu.
“Mungkin mati nggak akan
sesakit itu....” Kata pria di sampingnya. “atau bisa lebih sakit.
Nggak tau deh.”
“Paling nggak, kalau gue
nabrakin diri ke kereta nggak akan ngeluarin bau gosong.” Katanya
sambil menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara
perlahan. “Mungkin... barusan itu adalah tarikan nafas panjang gue
yang terakhir.”
Dia berdiri dari duduknya,
mengambil ransel yang tadi ia letakan pada samping kursi tunggu. Lalu
membuka resleting ranselnya dan mencari-cari sesuatu. Pria di
sampingnya hanya memandangnya dalam diam yang sangat dingin. Ia
mengeluarkan sebuah buku dan pulpen, menulis sesuatu pada salah satu
lembar halamannya. Mungkin sebuah surat wasiat atau surat cinta untuk
idola. Entahlah. Pria itu pun enggan untuk bertanya.
“Gue mau minta tolong sama lo.”
Ucapnya sambil menyerahkan buku yang tadi ia pegang dan juga dompet
tebalnya pada pria tadi. Pria itu cuma menerimanya tanpa sepatah kata
apapun.
“Sebentar lagi keretanya
dateng. Makasih udah mau nemenin gue di waktu terkahir gue ini.”
Sedikit membungkukan badannya, wanita itu mencium pipi kiri si pria
dengan bibirnya yang basah oleh air mata. Isakan kembali terdengar
darinya, namun dia berusaha untuk menahannya. Berkali-kali juga ia
usap air matanya dengan telapak tangan kirinya yang perih karena luka
yang terbuka. “Makasih” Ujarnya terkahir kali.
Ia meninggalkan si pria itu duduk
sendirian memandangi buku dan dompet yang baru saja ia berikan.
Wanita muda itu menyelinap masuk ke peron tanpa hambatan. Hanya
diganggu oleh suara dengkuran. Dia sudah masuk ke dalam peron.
Bayangannya hilang di balik pintu peron. Pria itu kini sendiri.
Memandangi barang-barang yang wanita itu tinggalkan dengan tanpa
ekspresi sekalipun. Ia mengeluarkan sebatang rokok lagi, yang
langsung ia selipkan pada bibir tebalnya. Api membakar ujung gulungan
tembakau itu. Ia hisap asap pahitnya. Tak dihembuskan lagi ke luar.
Ia telan asapnya. Membuat tubuhnya hangat di tengah dinginnya kota
Jogja.
Suara pengumuman berkumandang ke
seluruh penjuru stasiun. Memberitahukan pada siapapun yang mau
mendengarkan, bahwa akan ada sebuah kereta datang dari arah barat. Ia
memohon pada seluruh orang, siapapun itu, untuk berdiri di belakang
garis aman. Pengumuman itu selesai. Suara kereta yang gagah dan
bergemuruh terdengar samar. Makin lama makin keras. Makin memasuki
stasiun klaksonnya berbunyi keras dan panjang. Membangunkan si pria
dan satpam yang dari tadi tidur. Dari dalam peron terdengar suara
teriakan beberapa orang, mungkin satpam yang berjaga. Namun
terdengar begitu histeris
dan panik. Diikuti suara decitan rem kereta yang begitu mengganggu
telinga.
Teriakan panik dan minta tolong
menggema di seluruh sudut peron. Membuat satpam yang tadi tertidur di
depan pintu peron ikut panik. Begitupun si pria yang tadi tertidur.
Panik dan penasaran, ia masuk ke dalam peron. Meninggalkan ruang
tunggu dalam keadaan kosong dan sepi. Tak ada seorangpun selain
dingin yang menyelimuti dan berpura-pura mengisi kursi-kursi kosong
itu. Di salah satu kursi tunggu, sobekan-sobekan kertas berserakan di
bawahnya. Di kursinya sendiri ada sebuah ransel padat yang
resletingnya terbuka. Di sampingnya sebuah buku dan dompet
tergeletak. Sebatang rokok yang masih menyala tiba-tiba terjatuh di
dekat sobekan-sobekan kertas tadi. Asapnya berdansa bersama hawa
dingin malam. Sedangkan apinya, perlahan mengikis kehidupan.