Tahun 2016 sudah berakhir. Udah hampir 2 semester perkuliahan gue lewatin. Tapi blog ini masih belum ada perkembangannya. Sedih? tentu. Makanya biar nggak sedih dan sekalian mengaktifkan kembali blog ini, di postingan kali ini gue akan cerita soal perjalanan gue ke Purwakarta.
Purwakarta, sebenernya nggak berada di deretan atas destinasi wisata yang besar. Masih kalah jauh dengan Bali, Lombok, Jogja, Raja Ampat, dan tempat wah lainnya di Indonesia yang selalu menjadi tujuan utama para wisatawan. Tapi melalui tulisan ini, gue akan mendeklarasikan bahwa Purwakarta adalah kota yang sangat layak untuk dikunjungi saat liburan.
Agak berat sih dengan kata 'Mendeklarasikan'. Jadi jangan diambil serius ya, hehehe. Gue cuma mau cerita aja kok perjalanan gue di sana. Semoga cerita ini bisa membuat beberapa dari kalian ingin berpelesir ke sana. Mancaay, berpelesir ~
Alasan Perjalanan
Perjalanan gue ke Purwakarta ini bisa disebut sebagai perjalanan tak terencana. Berawal dari tugas kuliah fotografi di mana mengharuskan gue dan teman-teman untuk membuat foto esai, landscape, dan cityscape. Foto yang harus dibuat pun nggak cuma satu. Alhasil dengan tugas akhir semester fotografi yang sebanyak itu, bapak dosen memutuskan untuk membuat kelompok. Jadi, tugas itu dikerjain sesuai kelompok.
Kelompok gue terdiri dari 6 orang. Nah, salah satu dari 6 orang ini ada yang kampungnya di Purwakarta. Jadi saat diskusi dia menyarankan buat ngerjain tugas ini di Purwakarta aja. Landscapenya kami berencana untuk ambil pemandangan Waduk Jatiluhur. Dan esainya kami mau ngambil foto festival di Purwakarta. Oiya, menurut temen gue si Uul, cewek asli Purwakarta ini, di sana sering banget yang namanya festival. Makanya dia ngebet banget ngerjain tugas di Purwakarta. Kan lumayan tuh ngerjain tugas sekalian pulang kampung. Hehehe.
Tiketnya Murah, Cuy!
Awalnya gue dan yang lain ragu sih buat ke sana. Takut mahal di ongkos. Bisa lo bayangin kan tiket bus atau kereta ke Purwakarta berapa. Pasti gocap ke atas. Iya kan? Kalian pasti mikir segitu. Awalnya gue dan temen-temen yang lain ngira harganya juga segitu. Tapi eh ternyata, pucuk dicinta Raisa pun tiba. Harga tiket kereta ke Purwakarta cuma 6 ribu, cuy. Iya! 6 ribu! Lebih murah daripada harga seblak dan ketoprak jaman sekarang. Kalau harga seblak itu 8 ribu, beli 2 berarti 16 ribu. Sedangkan tiket kereta ke Purwakarta cuma 6 ribu. Pulang pergi cuma 12 ribu. Masih sisa 4 ribu, ini sisa uang bisa buat beli teh sisri kalau lagi haus, bisa dapet 3 plastik! Mantab Jiwo!
Akhirnya berbekal tiket murah ke Purwakarta dan 3 plastik teh sisri. Kami pun meniatkan diri untuk berangkat menuju Purwakarta! Yeeeah!
Kelompok gue nggak berangkat bareng-bareng. 3 orang, si Uul, Sans, dan Asah plus pacarnya, berangkat duluan hari Jumat sore tanggal 23 Desember kemarin. Sedangkan gue, Khars, dan Tomyam plus satu temen kami yang sebenernya bukan satu kelompok yaitu si Jaka, berangkat hari Sabtunya. Tapi yang rombongan hari Sabtu ini juga tetep misah. Gue dan yang lainnya berangkat Sabtu siang. sedangkan si Tomyam berangkat Sabtu sore.
kereta berangkat dari Stasiun Jakarta Kota. Gue, Khars, dan Jaka janjian buat ketemuan di dalam stasiun. jam 12 siang lewat dikit, kami udah ada di dalam stasiun, kebetulan kereta juga udah melipir manis di stasiun. Jadi, waktu petugas stasiun ngebuka gerbangnya langsung aja gue dan yang lainnya berjalan cepat dengan gembira ke dalam peron. Gue dan Jaka sempet bingung sama nomor gerbong dan kursi yang harus kami tempati. Karena menurut pepatah, malu bertanya sesat di stasiun, gue dan Jaka akhirnya tanya ke salah satu petugas kereta yang lagu berdiri di samping pintu masuk. Bukannya dikasih tau dimana gerbong gue, si petugas malah jawab kalau duduknya bebas mau di mana aja. Waaah wuasem, udah capek mondar-mandir nyari kursi malah disuruh duduk dimana aja. Yaudah, gue dan 2 orang temen gue pun duduk di kursi yang paling luas dan di bawah ac. Mancay!
Om, Makasih Om
Nggak ada hal penting sebenernya saat perjalanan di dalam kereta. Ya kami ngobrol aja kayak biasanya, sedangkan kereta berhenti hampir di setiap stasiun besar. Kereta yang awalnya kosong, lama-lama penuh setiap kali berhenti. Kursi berkapasitas 6 orang yang awalnya kami kuasai bertiga dengan suka cita karena kaki yang bisa selonjoran sepuasnya, akhirnya harus dibagi dengan penumpang lain. Penumpang beruntung yang duduk bareng kami adalah seorang ibu-ibu sekitar umur 30-an akhir dan 3 orang anaknya. Anak si ibu-ibu ini semuanya masih anak-anak. Iya, maksud gue masih kecil. Kalau perkiraan gue, kayaknya yang paling tua aja umurnya baru 13 atau 14 tahun. Tapi, meskipun anaknya masih kecil, bawaan mereka banyak banget. 2 tas gede dan 3 kresek besar penuh snack. Si Ibu bertugas gendong anaknya yang paling kecil, jadi 2 tas gede itu dibawa sama 2 anaknya yang lain.
Setelah mereka duduk bareng kami, ternyata bawaannya cukup ngeganggu. Si Ibu pun menyuruh anak-anaknya untuk naruh 2 tas gede mereka di bagasi atas. Namanya juga anak kecil. Ternyata mereka nggak nyampe waktu mau naruh tas. Gue sebagai cowok tampan dan yang paling besar di sana, akhirnya dengan senang hati ngebantu mereka naruh tas di bagasi atas. Alasan lain selain membantu dengan ikhlas adalah, biar kaki gue bisa lega nggak keganggu tas.
Setelah gue ngebantu mereka, dengan niat tulus mereka pun berucap terima kasih. Tapi ucapan itu malah bikin gue dongkol dan males. Karena mereka ngucapinnya "Om, makasih, Om." Om??? Om?? Setua itukah gue di mata mereka :( Si Khars dan Jaka pun ketawa dengernya. Sedangkan gue dongkol abis. Untungnya tuh bocah nggak bilang "Om, Telolet, Om." Padahal kalau sampai mereke bilang gitu, gue udah buka jendela kereta, siap-siap buat ngelempar mereka keluar kereta. Untungnya nggak. Selama perjalanan pun akhirnya gue cuma dengerin lagu dan baca buku. Masih kesel habis dipanggil Om. Hih!
Setelah gue ngebantu mereka, dengan niat tulus mereka pun berucap terima kasih. Tapi ucapan itu malah bikin gue dongkol dan males. Karena mereka ngucapinnya "Om, makasih, Om." Om??? Om?? Setua itukah gue di mata mereka :( Si Khars dan Jaka pun ketawa dengernya. Sedangkan gue dongkol abis. Untungnya tuh bocah nggak bilang "Om, Telolet, Om." Padahal kalau sampai mereke bilang gitu, gue udah buka jendela kereta, siap-siap buat ngelempar mereka keluar kereta. Untungnya nggak. Selama perjalanan pun akhirnya gue cuma dengerin lagu dan baca buku. Masih kesel habis dipanggil Om. Hih!
Banyak Patung
Gue sampai di stasiun Purwakarta sekitar jam setengah 5 sore. Keluar dari stasiun, gue udah disambut sama ribuan tukang ojek dan angkot. Mm, nggak ribuan juga sih. Pokoknya banyak deh. Yang jadi sasaran empuk para kang angkot ini adalah si Jaka. Setiap baru jalan berapa langkah udah ada aja yang nyamperin dia dan nawarin angkutan. Nggak cuma beberapa langkah, dia baru mau ambil nafas aja udah ada lagi yang nawarin. Bahkan terkadang yang nawarin pake bahasa Sunda. Si Jaka yang nggak bisa bahasa Sunda pun cuma bisa nolak sambil alasan udah ada yang jemput. Padahal mah sama sekali nggak ada yang jemput. Namanya juga jomblo! Hahaha.
Selain abang-abang angkot yang ganteng tapi masih kalah ganteng sama gue, kami juga disambut sama sebuah patung Gatot Kaca yang gede banget di depan stasiun. Dan Gatot Kacanya lebih ganteng dari gue. Gue kesel.
Dari stasiun Purwakarta, gue naik angkot 03 atau 04 ke stasiun Ciganea. Jadi rumah si Uul, tempat yang kami inapi, ada di deket stasiun Ciganea. Selama perjalanan ke stasiun Ciganea, gue banyak banget liat patung-patung hampir di setiap sudut kota. Mulai dari patung orang berlutut, Bima, sampai patung tokoh pewayangan lainnya di sepanjang jalan ke arah Gapura selamat datang Purwakarta.
Air Mancur dan Wisata Kuliner
Sesampainya di rumah Uul, gue dan yang lain cuma naruh tas dan barang-barang aja. Cuma setengah jam ngaso, gue dan yang lainpun langsung cabut lagi ke Situ Buleud. Situ Buleud, atau Sri Baduga ini adalah taman yang luas banget. Bersimbolkan patung badak, taman ini bisa dibilang trademarknya Purwakarta. Soalnya cuma di sini nih ada pertunjukan air mancur menari terbesar di Indonesia. Sampai di Situ Buleud sekitar jam setengah 6, gue dan yang lain coba hunting foto yang kira-kira bisa menggambarkan Purwakarta. Gue dan yang lain hunting sampai magrib. Magrib ngaso dulu sambil nyemil-nyemil lucu. Sehabis magrib, kami pun jalan ke depan gerbang taman nunggu jadwal air mancur.
Berfoto dengan kawan baru
Dari jam setengah 7 sampai mau jam 8 kami nunggu. Orang yang nunggu juga udah mulai rame. Tapi pintu gerbang belum juga dibuka. Sebelumnya gue udah tanya ke gugel kayak di iklannya gitu "Jadwal pertunjukan air mancur sri baduga". Di jadwal yang gue dapat setelah tanya ke gugel tertulis kalau pertunjukan dimulai pukul setengah 8 malem. Ternyata, penantian gue dan yang lain sia-sia. Berdasarkan info yang kami dapat dari satpol pp yang lagi bertugas tepat di belakang kami duduk ngantri, air mancur lagi nggak beroperasi sementara karena direnovasi. Betapa dongkolnya kami semua yang udah nahan laper cuma biar bisa dapet tempat nonton tapi ternyata kami nunggu untuk sesuatu yang tidak ada, hiks. Gue yang belum makan seharian rasanya pengen berubah jadi badak dan nyeruduk orang-orang yang lewat, terutama cewek cakep. Eh.
Karena semua pada laper dan juga habis nahan dongkol yang mendalam, akhirnya kami pun jalan ke area wiskulnya. Area untuk wisata kulinernya ini rame banget. Mulai dari depan Situ Buleud sampe depan stasiun Purwakarta ke sana lagi. Ke sana ke mana tuh? Pokoknya ke sana deh, lo juga bakal tau kalau dateng ke sini.
Wisata kuliner di sini cuma diadakan setiap malem minggu doang. Jadi kalau kalian datengnya di malam lain kayak malam Jum'at kliwon, atau malam birunya Sandy Sandoro, nggak akan nemuin wiskul di Situ Buleud. Berbagai makanan dijual di sini. Mulai dari sosis bakar dan bakso bakar yang gedenya kebangetan, mi dingin, seblak, sate maranggi, sampai tahu bulat dan makanan Jepang juga ada. Selain wiskul, untuk hiburan di sini ada panggung kroncong. Tempatnya tepat di seberang stasiun Purwakarta.
Kalau dateng ke sebuah tempat, kuliner khas adalah salah satu hal yang harus kita coba. Ya, jadi gue pun bertanya ke si Uul, kuliner apa sih yang khas di sini. Kata dia sate maranggi dan lumpia basah adalah makanan yang khas di sana. Mmm, bisa jadi sih. Habisnya gue nggak pernah liat dua makanan itu di Jakarta. Sebenernya gue pengen banget nyobain sate maranggi di sana. Soalnya di sepanjang jalan banyak banget yang jualan dan gue juga penasaran sama rasanya. Sate maranggi di Purwakarta disajikan dengan cara yang nggak biasa sih menurut gue. Kalau kebanyakan sate dimakan pake nasi atau lontong, di sana malah dimakan pake ketan bakar. Sayangnya, anak-anak yang lain malah kepengen makan pecel lele. Yaudah deh, karena kalah suara gue pun ngikut mereka.
Selagi nyari pecel lele, gue nyempetin diri buat beli lumpia basah. Awalnya gue kira lumpia basah ini kayak lumpia semarang yang digoreng biasa tapi isinya basah atau lengket gitu. Ternyata nggak. Lumpia basah ini cara masaknya kayak seblak. Jadi telur orak arik dan bumbu-bumbu ditumis di wajan, lalu ditambahin toge sebanyak-banyaknya dan potongan kecil rebung. Ditumis deh tuh mereka semua. Habis itu kulit lumpia kayak yang biasa kalian lihat di pasar, terhampar lebar di tempat sterofom kecil. Di atasnya dikasih semacam saus hitam, terus dituang deh itu tadi hasil tumis telor campur tauge dan rebung. Udah gitu doang. Saat gue coba rasanya kayak makan toge tumis. Togenya bener-bener mendominasi bikin telor apalagi kulit lumpianya nggak kerasa. Sehabis makan tauge sebanyak itu, gue pun merasa jadi subur dan pengen nikah.
Jauh-jauh ke Purwakarta, akhirnya kami menemukan warung seafood yang juga ngejual pecel lele. Fyi, warung seafood ini ternyata punya orang Brebes. Karena namanya Warung Brebes. Waktu kami masuk juga, para pekerjanya berkomunikasi sambil kayak keselek biji salak di lehernya. Ngapak ngapak gitu. Jadi, malam itu kami makan di Purwakarta rasa Pantura.
Day 2
Hari berikutnya kami bangun pagi. Soalnya biar bisa menjamah segala tempat tujuan dengan cepat. Agendanya hari itu adalah menghadiri festival di Sri Baduga, lalu ke Jatiluhur untuk ngambil foto landscapenya.
FYI, untuk ke jatiluhur dengan akses angkutan umum itu susah banget. Soalnya nggak ada angkutan yang bisa mengantar ke sana. Akhirnya kami pun sepakat buat nyewa sebuah angkot plus sopir tentunya. Jadi kemanapun kami pergi, gak usah nyari angkot lagi. Nyewa angkot ternyata lumayan murah, nggak sampe 200k. Kami cuma patungan 20ribuan untuk nyewa angkot seharian. Kekuatan orang dalam sih. Mantap!
Jam 8 pagi gue dan yang lainnya udah rapi dengan tas masing-masing, soalnya sore nanti mau langsung balik ke Jakarta. Setelah sarapan, dengan sambal buatan mama Uul yang lezatos lalu sekalian pamitan ke orangtuanya, kami pun berangkat. Tujuan pertama, Sri Baduga!
Kena PHP Lagi
Sampai di Sri Baduga, rame banget karena lagi CFD. Banyak orang-orang yang olahraga mulai dari lari, jalan, dan pacaran di pinggir jalan. Kami berjalan dan mulai motret-motret lagi, soalnya yang hasil jepretan kemarin agak gelap. Selagi keliling taman Sri Baduga ini gue baru sadar, kalau sekeliling pagar tamannya ini dihiasi sama toko-tokoh pewayangan juga. Tokoh yang ada juga nggak cuma dari satu cerita aja. Mulai Pandawanya Mahabarata sampai Petruk dan juga Cepot ada menghiasi sekeliling pagar taman. Boleh juga nih gayanya Purwakarta, begitulah kata hati gue. Anjaay ~
Hampir 2 jam gue dan yang lainnya muterin Sri Baduga, tapi festival belum juga ada. Jangankan festivalnya, tanda-tanda dari festival aja nggak ada. Yang ada tanda-tanda kena PHP lagi. Hiks.
Permainan Tradisional dan Satpol PP Cakep
Semua pun mulai bete dan memutuskan untuk pindah lokasi ke alun-alun Purwakarta yang tempatnya di seberang Taman Sri Baduga. Alun-alun Purwakarta ini ternyata asoy banget, cuy. Nggak cuma sebuah taman yang enak buat bersantai menikmati cerahnya cuaca. Banyak hal menarik yang bisa lo lakuin di alun-alun ini. Di antaranya main mainan tradisional. Jadi di setiap minggu, alun-alun ini nyediain berbagai permainan tradisional mulai dari bebedilan (tembak-tembakan dari bambu), rerodaan (sepeda dari bambu), egrang, sampai gamelan bambu.
Nggak cuma permainan tradisional yang bisa dimainin secara gratis doang. Di sini juga banyak stand atau makanan tradisional kayak opak dan kawan-kawannya. Gue dan yang lain bener-bener betah banget mainan di sini. Kayak si Asah dan pacarnya yang semangat banget mainan egrang. Gue sebenernya juga pengen nyoba main. Tapi demi keselamatan bersama, daripada egrangnya patah, akhirnya gue urungkan niat itu. Gue pun lebih memilih liat sekumpulan anak kecil yang lagi main boi-boian.
Capek ngeliatin anak-anak yang lagi main, gue pun berjalan keluar gerbang alun-alun buat beli minum. Tepat di depan gerbang, gue tercengang, bengong, ngiler, nggak kuat untuk melanjutkan langkah deh pokoknya. Seakan-akan mata gue gak rela kalau harus berpaling dari pemandangan yang lagi gue liat. *Lebay lu, Bon!*
Kalian penasaran kan, apa sih yang gue liat. Gue ngeliat sekumpulan satpol pp. Sekitar 10 orang. Tapi ini satpol pp bukan sembarang satpol pp. Ini satpol pp dari khayangan, beruraikan selendang, bermandikan kembang. Cakep-cakep banget cuy. Dengan seragam kaos lengen panjang yang santai, mereka rame-rame jalan ke sana kemari sambil foto-foto. Gue jadi curiga, sebenernya mereka ini satpol pp atau cewek-cewek yang lagi cosplay jadi satpol pp. Yang anak Purwakarta, tolong jelasin hal ini kalau lo baca tulisan gue. Mereka beneran satpol pp bukan? Luar biasah!
Sayangnya gue dan yang lain nggak berani buat deketin mereka dan ngajak kenalan, foto bersama, apalagi hidup bersama *Eh. Sehabis minum dan ngaso, gue dan yang lainnya pun keluar alun-alun dan kembali ke angkot.
Asoy-nya Waduk Jatiluhur
Waduk Jatiluhur adalah bendungan terbesar di Indonesia yang multifungsi. Nggak cuma dipake buat rekreasi, tapi juga pembangkit listrik, budidaya ikan, sampai sarang teroris yang baru aja ketangkep. Astagfirullah, semoga nggak ada teroris lagi di sana, ya. Fyi, gue sampai Jatiluhur sekitar jam 11 siang. Itu adalah waktu yang sama dengan ditangkapnya teroris. Untungnya sih nggak ada kejadian yang heboh banget. Soalnya hampir semua orang di daerah Jatiluhur waktu itu tentram-tentram aja. Kucing aja dengan santainya masih bisa berak di pinggiran danau. Sungguh damai.
Kembali ke cerita perjalanan. Untuk masuk ke Jatiluhur, sebenernya kita dikenai biaya perorang. Kalau nggak salah satu kepala kena 15ribu. Kepala di sini maksudnya kepala yang atas doang ya. Bukan kepala yang lain. Hayooo....mulai pada mikir ya kepala apa, hahaha.
Tapi, kami waktu itu nggak usah bayar lagi. Soalnya biaya sewa yang kami bayarkan ke angkot itu udah termasuk masuk Jatiluhur. Begitu kata abangnya. Jadi kami melenggang masuk aja gitu, nggak perlu ngurus apa-apa lagi. Kami turun tepat di pinggir danau di depan kolam renang. Sesampainya di sana langsung deh itu pada motret-motret danau. Cari spot paling mantap jiwa. Sedangkan gue dan Khars yang emang nggak bawa kamera, duduk di pinggiran sambil nungguin tas. Tega kalian semua. Hiks.
Sehabis motret landscapenya, gue dan Jaka sedikit jalan-jalan di sekitaran Jatiluhur. Tapi nggak sampai muterin danau sih. Soalnya danaunya luas banget, mungkin 2 minggu lebih 5 menit baru bisa muterin ini Jatiluhur. Jadi, gue dan Jaka cuma jalan di sekitaran spot awal kami tadi. Baru beberapa meter berjalan, gue liat ada tukang sate maranggi. Gue yang dari kemarin emang penasaran pun akhirnya beli satu porsi. Sayangnya, sate maranggi yang ini nggak pake ketan bakar tapi nasi putih. Yaudah deh gak apa.
Seporsi sate maranggi seharga 25ribu udah di tangan. Gue dan Jaka pun cari spot yang asoy buat makan berdua. Di bawah pohon rindang beralaskan akar-akar tangguh dari pohon yang umurnya nggak gue ketahui, kami makan sate maranggi dengan lahap. Lumayan lah ini sate. Nggak kayak sate pada umumnya, sate maranggi lebih memilih gajih dan otot ketimbang daging. Bumbunya juga enak. Manis-manis pedes. Gue kurang tau sih bumbunya dari apa, kayaknya ada kecap dan gula merahnya, deh. Soalnya hitam agak kecoklatan gitu, kentel juga. Yaudah deh, apapun itu, karena enak akhirnya habis juga ini sate sama kami. Sehabis makan sate maranggi, bukannya minum, gue dan Jaka malah makan es krim durian sambil ngeliatin 2 polwan cantik yang lagi beli nanas di seberang jalan. Salah satunya bernama Juni. Rambutnya pendek, kulitnya putih, cantik. Pengen gue panggil sebenernya buat basa-basi sambil makan es krim durian. Tapi daripada digelandang ke pos polisi karena kami bermuka cabul, maka gue urungkan juga niat itu.
Setelah puas dengan es krim durian dan memandangi aktivitas sekitar, terutama 2 polwan cantik tadi, gue dan Jaka pun berjalan kembali ke tempat kami kumpul tadi. Di tengah jalan, kami liat ada tukang rujak ulek. Dasar lelaki perut karet, gue dan Jaka pun berhenti dan beli rujak. Setelah rujak berada di genggaman, kami balik ke pinggiran danau sambil makan rujak.
Di bawah pohon ceres beralaskan tiker sewa seharga ceban, gue dan yang lainnya bersantai menikmati Waduk Jatiluhur. Angin sepoi-sepoi bikin berasa lagi di pantai. Angin-angin ini pun sukses menidurkan anak-anak yang lain. Sedangkan gue memandangi para wisatawan yang lagi naik kapal di tengah Waduk Jatiluhur.
Keasoyan tidur anak-anak akhirnya buyar waktu ada tukang bakso cuangki lewat. Mereka pun berjamaah makan cuangki. Kecuali gue dan Jaka yang udah terkapar kekenyangan. Sehabis makan, merekapun kembali tidur, sedangkan gue dan Asah malah main layangan yang dibeli seharga 20ribu setelah ditawar secara sadis oleh Asah.
Rasanya gue gak pengen pergi dari ini pinggiran danau. Sumpah enak banget buat bersantai. Andaikan rumah gue di deket sini pasti hampir setiap minggu gue akan menghabiskan waktu di sini. Tiduran sambil baca buku atau dengerin musik di bawah pohon ceres. Sayangnya rumah gue di Jakarta. Kehidupan kami di Jakarta. Jadi, pukul 3 sore kami pun balik ke angkot dan harus ke stasiun Purwakarta sebelum jam 4 sore, soalnya jadwal keretanya jam segitu.
Agak berat sih buat ninggalin Purwakarta. Soalnya cuma dua hari aja, dan itu belum cukup untuk eksplor Purwakarta lebih dalam. Tapi gak apa, meskipun sekarang harus mengucapkan salam perpisahan, tapi suatu saat kami akan datang lagi. Cuma 6 ribu ini tiketnya. Hahaha.
Sampai jumpa lagi Purwakarta.
Photo by Sopian Rizky & Abon
Wisata kuliner di sini cuma diadakan setiap malem minggu doang. Jadi kalau kalian datengnya di malam lain kayak malam Jum'at kliwon, atau malam birunya Sandy Sandoro, nggak akan nemuin wiskul di Situ Buleud. Berbagai makanan dijual di sini. Mulai dari sosis bakar dan bakso bakar yang gedenya kebangetan, mi dingin, seblak, sate maranggi, sampai tahu bulat dan makanan Jepang juga ada. Selain wiskul, untuk hiburan di sini ada panggung kroncong. Tempatnya tepat di seberang stasiun Purwakarta.
Kalau dateng ke sebuah tempat, kuliner khas adalah salah satu hal yang harus kita coba. Ya, jadi gue pun bertanya ke si Uul, kuliner apa sih yang khas di sini. Kata dia sate maranggi dan lumpia basah adalah makanan yang khas di sana. Mmm, bisa jadi sih. Habisnya gue nggak pernah liat dua makanan itu di Jakarta. Sebenernya gue pengen banget nyobain sate maranggi di sana. Soalnya di sepanjang jalan banyak banget yang jualan dan gue juga penasaran sama rasanya. Sate maranggi di Purwakarta disajikan dengan cara yang nggak biasa sih menurut gue. Kalau kebanyakan sate dimakan pake nasi atau lontong, di sana malah dimakan pake ketan bakar. Sayangnya, anak-anak yang lain malah kepengen makan pecel lele. Yaudah deh, karena kalah suara gue pun ngikut mereka.
Selagi nyari pecel lele, gue nyempetin diri buat beli lumpia basah. Awalnya gue kira lumpia basah ini kayak lumpia semarang yang digoreng biasa tapi isinya basah atau lengket gitu. Ternyata nggak. Lumpia basah ini cara masaknya kayak seblak. Jadi telur orak arik dan bumbu-bumbu ditumis di wajan, lalu ditambahin toge sebanyak-banyaknya dan potongan kecil rebung. Ditumis deh tuh mereka semua. Habis itu kulit lumpia kayak yang biasa kalian lihat di pasar, terhampar lebar di tempat sterofom kecil. Di atasnya dikasih semacam saus hitam, terus dituang deh itu tadi hasil tumis telor campur tauge dan rebung. Udah gitu doang. Saat gue coba rasanya kayak makan toge tumis. Togenya bener-bener mendominasi bikin telor apalagi kulit lumpianya nggak kerasa. Sehabis makan tauge sebanyak itu, gue pun merasa jadi subur dan pengen nikah.
Jauh-jauh ke Purwakarta, akhirnya kami menemukan warung seafood yang juga ngejual pecel lele. Fyi, warung seafood ini ternyata punya orang Brebes. Karena namanya Warung Brebes. Waktu kami masuk juga, para pekerjanya berkomunikasi sambil kayak keselek biji salak di lehernya. Ngapak ngapak gitu. Jadi, malam itu kami makan di Purwakarta rasa Pantura.
Day 2
Hari berikutnya kami bangun pagi. Soalnya biar bisa menjamah segala tempat tujuan dengan cepat. Agendanya hari itu adalah menghadiri festival di Sri Baduga, lalu ke Jatiluhur untuk ngambil foto landscapenya.
FYI, untuk ke jatiluhur dengan akses angkutan umum itu susah banget. Soalnya nggak ada angkutan yang bisa mengantar ke sana. Akhirnya kami pun sepakat buat nyewa sebuah angkot plus sopir tentunya. Jadi kemanapun kami pergi, gak usah nyari angkot lagi. Nyewa angkot ternyata lumayan murah, nggak sampe 200k. Kami cuma patungan 20ribuan untuk nyewa angkot seharian. Kekuatan orang dalam sih. Mantap!
Jam 8 pagi gue dan yang lainnya udah rapi dengan tas masing-masing, soalnya sore nanti mau langsung balik ke Jakarta. Setelah sarapan, dengan sambal buatan mama Uul yang lezatos lalu sekalian pamitan ke orangtuanya, kami pun berangkat. Tujuan pertama, Sri Baduga!
Kena PHP Lagi
Sampai di Sri Baduga, rame banget karena lagi CFD. Banyak orang-orang yang olahraga mulai dari lari, jalan, dan pacaran di pinggir jalan. Kami berjalan dan mulai motret-motret lagi, soalnya yang hasil jepretan kemarin agak gelap. Selagi keliling taman Sri Baduga ini gue baru sadar, kalau sekeliling pagar tamannya ini dihiasi sama toko-tokoh pewayangan juga. Tokoh yang ada juga nggak cuma dari satu cerita aja. Mulai Pandawanya Mahabarata sampai Petruk dan juga Cepot ada menghiasi sekeliling pagar taman. Boleh juga nih gayanya Purwakarta, begitulah kata hati gue. Anjaay ~
Tokoh Wayang di Sekeliling Pagar Taman Sri Baduga
Hampir 2 jam gue dan yang lainnya muterin Sri Baduga, tapi festival belum juga ada. Jangankan festivalnya, tanda-tanda dari festival aja nggak ada. Yang ada tanda-tanda kena PHP lagi. Hiks.
Permainan Tradisional dan Satpol PP Cakep
Semua pun mulai bete dan memutuskan untuk pindah lokasi ke alun-alun Purwakarta yang tempatnya di seberang Taman Sri Baduga. Alun-alun Purwakarta ini ternyata asoy banget, cuy. Nggak cuma sebuah taman yang enak buat bersantai menikmati cerahnya cuaca. Banyak hal menarik yang bisa lo lakuin di alun-alun ini. Di antaranya main mainan tradisional. Jadi di setiap minggu, alun-alun ini nyediain berbagai permainan tradisional mulai dari bebedilan (tembak-tembakan dari bambu), rerodaan (sepeda dari bambu), egrang, sampai gamelan bambu.
Jaka dan Asah ikutan main
Nggak cuma permainan tradisional yang bisa dimainin secara gratis doang. Di sini juga banyak stand atau makanan tradisional kayak opak dan kawan-kawannya. Gue dan yang lain bener-bener betah banget mainan di sini. Kayak si Asah dan pacarnya yang semangat banget mainan egrang. Gue sebenernya juga pengen nyoba main. Tapi demi keselamatan bersama, daripada egrangnya patah, akhirnya gue urungkan niat itu. Gue pun lebih memilih liat sekumpulan anak kecil yang lagi main boi-boian.
Siap-siap main boi boian
Capek ngeliatin anak-anak yang lagi main, gue pun berjalan keluar gerbang alun-alun buat beli minum. Tepat di depan gerbang, gue tercengang, bengong, ngiler, nggak kuat untuk melanjutkan langkah deh pokoknya. Seakan-akan mata gue gak rela kalau harus berpaling dari pemandangan yang lagi gue liat. *Lebay lu, Bon!*
Kalian penasaran kan, apa sih yang gue liat. Gue ngeliat sekumpulan satpol pp. Sekitar 10 orang. Tapi ini satpol pp bukan sembarang satpol pp. Ini satpol pp dari khayangan, beruraikan selendang, bermandikan kembang. Cakep-cakep banget cuy. Dengan seragam kaos lengen panjang yang santai, mereka rame-rame jalan ke sana kemari sambil foto-foto. Gue jadi curiga, sebenernya mereka ini satpol pp atau cewek-cewek yang lagi cosplay jadi satpol pp. Yang anak Purwakarta, tolong jelasin hal ini kalau lo baca tulisan gue. Mereka beneran satpol pp bukan? Luar biasah!
Sayangnya gue dan yang lain nggak berani buat deketin mereka dan ngajak kenalan, foto bersama, apalagi hidup bersama *Eh. Sehabis minum dan ngaso, gue dan yang lainnya pun keluar alun-alun dan kembali ke angkot.
Asoy-nya Waduk Jatiluhur
Waduk Jatiluhur adalah bendungan terbesar di Indonesia yang multifungsi. Nggak cuma dipake buat rekreasi, tapi juga pembangkit listrik, budidaya ikan, sampai sarang teroris yang baru aja ketangkep. Astagfirullah, semoga nggak ada teroris lagi di sana, ya. Fyi, gue sampai Jatiluhur sekitar jam 11 siang. Itu adalah waktu yang sama dengan ditangkapnya teroris. Untungnya sih nggak ada kejadian yang heboh banget. Soalnya hampir semua orang di daerah Jatiluhur waktu itu tentram-tentram aja. Kucing aja dengan santainya masih bisa berak di pinggiran danau. Sungguh damai.
Kembali ke cerita perjalanan. Untuk masuk ke Jatiluhur, sebenernya kita dikenai biaya perorang. Kalau nggak salah satu kepala kena 15ribu. Kepala di sini maksudnya kepala yang atas doang ya. Bukan kepala yang lain. Hayooo....mulai pada mikir ya kepala apa, hahaha.
Tapi, kami waktu itu nggak usah bayar lagi. Soalnya biaya sewa yang kami bayarkan ke angkot itu udah termasuk masuk Jatiluhur. Begitu kata abangnya. Jadi kami melenggang masuk aja gitu, nggak perlu ngurus apa-apa lagi. Kami turun tepat di pinggir danau di depan kolam renang. Sesampainya di sana langsung deh itu pada motret-motret danau. Cari spot paling mantap jiwa. Sedangkan gue dan Khars yang emang nggak bawa kamera, duduk di pinggiran sambil nungguin tas. Tega kalian semua. Hiks.
Sehabis motret landscapenya, gue dan Jaka sedikit jalan-jalan di sekitaran Jatiluhur. Tapi nggak sampai muterin danau sih. Soalnya danaunya luas banget, mungkin 2 minggu lebih 5 menit baru bisa muterin ini Jatiluhur. Jadi, gue dan Jaka cuma jalan di sekitaran spot awal kami tadi. Baru beberapa meter berjalan, gue liat ada tukang sate maranggi. Gue yang dari kemarin emang penasaran pun akhirnya beli satu porsi. Sayangnya, sate maranggi yang ini nggak pake ketan bakar tapi nasi putih. Yaudah deh gak apa.
Seporsi sate maranggi seharga 25ribu udah di tangan. Gue dan Jaka pun cari spot yang asoy buat makan berdua. Di bawah pohon rindang beralaskan akar-akar tangguh dari pohon yang umurnya nggak gue ketahui, kami makan sate maranggi dengan lahap. Lumayan lah ini sate. Nggak kayak sate pada umumnya, sate maranggi lebih memilih gajih dan otot ketimbang daging. Bumbunya juga enak. Manis-manis pedes. Gue kurang tau sih bumbunya dari apa, kayaknya ada kecap dan gula merahnya, deh. Soalnya hitam agak kecoklatan gitu, kentel juga. Yaudah deh, apapun itu, karena enak akhirnya habis juga ini sate sama kami. Sehabis makan sate maranggi, bukannya minum, gue dan Jaka malah makan es krim durian sambil ngeliatin 2 polwan cantik yang lagi beli nanas di seberang jalan. Salah satunya bernama Juni. Rambutnya pendek, kulitnya putih, cantik. Pengen gue panggil sebenernya buat basa-basi sambil makan es krim durian. Tapi daripada digelandang ke pos polisi karena kami bermuka cabul, maka gue urungkan juga niat itu.
Setelah puas dengan es krim durian dan memandangi aktivitas sekitar, terutama 2 polwan cantik tadi, gue dan Jaka pun berjalan kembali ke tempat kami kumpul tadi. Di tengah jalan, kami liat ada tukang rujak ulek. Dasar lelaki perut karet, gue dan Jaka pun berhenti dan beli rujak. Setelah rujak berada di genggaman, kami balik ke pinggiran danau sambil makan rujak.
Di bawah pohon ceres beralaskan tiker sewa seharga ceban, gue dan yang lainnya bersantai menikmati Waduk Jatiluhur. Angin sepoi-sepoi bikin berasa lagi di pantai. Angin-angin ini pun sukses menidurkan anak-anak yang lain. Sedangkan gue memandangi para wisatawan yang lagi naik kapal di tengah Waduk Jatiluhur.
Keasoyan tidur anak-anak akhirnya buyar waktu ada tukang bakso cuangki lewat. Mereka pun berjamaah makan cuangki. Kecuali gue dan Jaka yang udah terkapar kekenyangan. Sehabis makan, merekapun kembali tidur, sedangkan gue dan Asah malah main layangan yang dibeli seharga 20ribu setelah ditawar secara sadis oleh Asah.
Rasanya gue gak pengen pergi dari ini pinggiran danau. Sumpah enak banget buat bersantai. Andaikan rumah gue di deket sini pasti hampir setiap minggu gue akan menghabiskan waktu di sini. Tiduran sambil baca buku atau dengerin musik di bawah pohon ceres. Sayangnya rumah gue di Jakarta. Kehidupan kami di Jakarta. Jadi, pukul 3 sore kami pun balik ke angkot dan harus ke stasiun Purwakarta sebelum jam 4 sore, soalnya jadwal keretanya jam segitu.
Agak berat sih buat ninggalin Purwakarta. Soalnya cuma dua hari aja, dan itu belum cukup untuk eksplor Purwakarta lebih dalam. Tapi gak apa, meskipun sekarang harus mengucapkan salam perpisahan, tapi suatu saat kami akan datang lagi. Cuma 6 ribu ini tiketnya. Hahaha.
Sampai jumpa lagi Purwakarta.
Photo by Sopian Rizky & Abon